Tuesday, March 12, 2019

Ghosting

Bagi yang ngga tau apa itu ghosting, itu tindakan tiba-tiba pergi dari suatu hubungan tanpa kabar. Yak, siapa yang pernah begini atau diginiin?

Ini tindakan yang umum, banyak banget yang ngelakuin. 
Pertanyaannya, is it appropriate/acceptable?

Awalnya aku langsung bilang 'ngga lah, nyebelin banget tiba-tiba pergi ngga bilang-bilang'.. Tapi trus aku mikir.. wait, aku juga pernah ghosting ternyata.. jadi aku menyimpulkan kalau the appropriateness of ghosting depends on the relationship intensity. Eh yaampun, berasa judul skripsi~
1. Hubungannya udah intens
Intens itu seperti daily phone call/meeting selama beberapa minggu. Kalau dihubungan ini dia/kamu ghosting, itu kurang pas. Karena dalam hubungan yang udah tiap hari ketemu/telp itu udah ada sinyal implicit kalau sama-sama nyaman dan kalau tiba-tiba hilang tanpa kabar itu pasti membingungkan buat yang ditinggal. Dalam hubungan ini, keduanya udah invest banyak dan probably berharap banyak juga. Jadi, kalau pergi, akan lebih dihargai klo bilang dulu. Dengan bilang dulu sebelum pergi ini juga artinya orang yang pergi menghargai orang yang ditinggal. Orang yang pergi mikir 'he/she deserve to know'. Tapi kalau dia ghosting, he/she is not worth your attention. Kalau butuh penjelasan/closure, bisa dicoba ditanyain.. Tapi kalau ngga didapet juga, yasudah, give it up.
2.  Hubungannya masih ditahap awal
Misalnya, masih baru chat aja atau ngedate 1-3 kali. Kalau dihubungan ini, rasanya wajar klo ada yang ghosting. Karena masing-masing masih 'test the water'. Mungkin masih ada yang mikir ini sekedar teman. jadi kalau mau pergi harus bilang, malah bakal aneh. Ada kemungkinan yang ditinggal bilang 'emang kita deket?' dan ternyata kedekatannya hanya ilusi semata~ hahaha. Dan yang ditinggal pun ngga bakal pusing mikirin kenapa ditinggal, paling mikir 'ohya mungkin ga cocok aja'. Jadi ghosting dihubungan ini ngga masalah.
3. Ada starting point
 Yang nomer 1-2 itu untuk yang belum ada omongan apa-apa. Tapi kalau udah ada statement suka, 'kita jalanin dulu aja' atau semacamnya, ini harus banget untuk ngomong mengakhiri hubungan (entah apapun itu hubungannya~). And ghosting is strictly prohibited. Kesannya udah dimulai, tapi ngga diakhiri.. kan ngga sopan. Jadi kalau ada yang ghosting dikondisi hubungan ini, itu artinya dia ngga berani bilang.

Kalau menurut kalian gimana? :)

Wednesday, March 14, 2018

Satu Kata untuk Taiwan

Semua hal itu ada ‘image’-nya. Mulai dari warna, produk, orang, hingga negara, pasti ada gambaran atau pesan yang ingin disampaikan. Image Taiwan dimata saya dalam satu kata itu adalah dewasa. Taiwan itu tenang, fokus dan rendah hati. Dewasa sekali, bukan?

Yang saya perhatikan selama kuliah di Taiwan ini adalah hampir semua dosen disini jarang berpakaian formal ketika lab meeting, mengajar, maupun menguji sidang. Mereka nyaman dengan pakaian kasual mereka. Terlihat sekali mereka berpegang teguh prinsip ‘don’t judge the book by its cover’. Mereka dengan tenang dan yakin bahwa penampilan bukanlah ukuran yang utama dalam menilai orang lain. Mereka percaya kemampuan mereka tetap mampu terpancar keluar dibalik penampilan mereka yang santai. Ini membuat saya nyaman sekali menjadi minioritas dengan memakai hijab. Bahkan keputusan untuk memakai hijab ini ada ketika saya di Taiwan. Saya yakin bahwa mereka tidak akan menyimpulkan sesuatu tentang saya hanya karena penampilan saya.

Indonesia dan Taiwan memang sama-sama memiliki budaya interdependen yang lebih dominan, dibandingkan dengan budaya barat yang dominan dengan budaya independennya. Tapi, Taiwan ini memiliki nilai budaya independen yang lebih tinggi dari Indonesia. Saya melihat dan merasakan bahwa orang Taiwan lebih fokus terhadap diri mereka sendiri. Mereka tidak ingin tau semua urusan pribadi orang lain. Hanya beberapa dosen dan temen lab saya yang bertanya tentang urusan pribadi saya. Semakin lama saya di Taiwan, saya merasa semakin sama pola pikir saya dengan mereka. Saya menjadi fokus dengan diri saya sendiri dan tidak terlalu memikirkan orang lain. Ini yang menguatkan saya selama saya menjalani kuliah ini. Saya fokus menyelesaikan kuliah saya, walaupun teman-teman yang lain tidak melakukan hal yang sama dengan saya. Saya percaya tiap orang punya jalannya masing-masing.

Secara negara, Taiwan ini dibatasi ruang geraknya dengan ‘One China Policy’. Tapi ini tidak membuat Taiwan berhenti bersinar. Taiwan menjadi salah satu negara yang unggul dalam bidang teknologi dan ramah lingkungan. Namun, Taiwan sadar bahwa mereka akan selalu menjadi nomer 2. Secara natural, kesadaran ini membuat mereka menjadi rendah hati dan tidak sombong.  Saya kagum dengan orang-orang Taiwan yang dengan tulus dan sungguh-sungguh menolong orang asing. Saya dengan bahasa Mandarin yang terbatas, mereka dengan bahasa Inggris yang terbata-bata dan kita yang saling mengandalkan bahasa tubuh dan google translate, tidak menghentikan mereka untuk berbuat baik terhadap saya dan orang asing lainnya. Ini hal yang jarang ditemui di negara maju lainnya dan inilah yang membuat Taiwan special dimata orang asing. Ini membuat saya berfikir bahwa kita perlu dengan pintar memutar kekurangan kita menjadi kelebihan. Kita semua lahir dengan kekurangan dan sering kali kekurangan tersebut tidak bisa diperbaiki. Tapi, akan ada kelebihan dibalik kekurangan tersebut, seperti kata pepatah ‘every coin has its two sides’. Kita harus terus berkembang dengan menggunakan kelebihan yang kita punya.

Terima kasih Taiwan yang telah membantu saya untuk berpenampilan, bersikap, dan berfikir lebih dewasa.

Friday, June 2, 2017

Minioritas - Mayoritas

Aku sering baca perbandingan antara pemeluk agama minioritas di Indonesia dengan pemeluk agama minioritas di negara lain. Katanya pemeluk agama minioritas (Kristen, Katolik, Budha, Hindu) itu terlalu diistimewakan/dimanjakan di Indonesia yang mayoritas agamanya Islam. Padahal pemeluk agama Islam di negara yang mayoritas agama Kristen itu ngga seperti itu dan cenderung 'struggling'. Wait, perbandingan ini tuh ngga 'apple-to-apple'. 

Kita lihat dulu dasar negaranya. Negara Indonesia adalah negara yang beragama dan mengakui 5 agama besar. Sedangkan, misalnya Taiwan itu landasan negaranya tidak bawa-bawa agama dan mayoritas penduduknya juga tidak memiliki agama. Jadi kalau membandingkan agama minioritas yang diakui di Indonesia dengan agama minioritas yang tidak diakui di Taiwan, yaa itu ngga setara.

Pemeluk ke-lima agama di Indonesia mempunyai hak yang sama. Mereka berhak untuk beribadah di tempat ibadah dengan tenang. Maka dari itu negara pun meliburkan hari-hari besar agama tersebut. Ini semua wajar. Ngga ada yang mengistimewakan dan memanjakan.

Sedangkan di Taiwan, by default negara tidak perlu membangun rumah ibadah dan meliburkan hari raya agama. Dan memang, tidak ada hari libur agama satu pun di Taiwan. Tapi, di Taiwan ini ada beberapa rumah ibadah, termasuk Mesjid. Ini baru bisa dibilang mengistimewakan dan memanjakan orang yang beragama/minioritas. Dan misalnya di beberapa waktu umat Muslim struggling mencari tempat untuk solat atau mencari makanan halal di Taiwan, hal ini wajar.. kan lagi di negara yang tidak beragama, yaa pasti sulit. 

Kesimpulannya:

1. Jangan membandingkan negara yang mengakui agama minioritas dengan negara yang ngga mengakui agama minioritas. Kalau mau membandingkan, bandingkan kedua negara yang sama-sama mengakui agama minioritas, atau dua negara yang sama-sama ngga mengakui agama minioritas. Seperti US dan Taiwan, yang sama-sama ngga mengakui agama Islam. Bandingkan bagaimana perlakuan dan fasilitas untuk umat Muslim.

2. Kalau suatu negara tidak mengakui agama minioritas, adalah sikap yang wajar ketika ada perbedaan perlakuan dengan pemeluk agama mayoritas. Tapi, ketika negara tersebut mengakui agama minioritas juga, sudah seharusnya tidak ada perbedaan perlakuan.

Thursday, March 30, 2017

Kesuksesan Tim

Dari sekian banyak organisasi dan kepanitiaan yang kamu ikuti, dari mana kamu tau atau merasa bahwa organisasi/kepanitiaan tersebut sukses? Bukan acaranya loh, tapi timnya. Yang dibahas disini organisasi/kepanitiaan non-profit. Jadi jelas, kita ngga bisa bicara tentang berhasilnya tim tersebut mendapatkan keuntungan sekian atau project bernilai sekian rupiah/dollar. Jadi kita harus punya cara evaluasi yang lain, dan setiap orang pasti punya versinya masing-masing. Menurutku ada 2 cara. Yang pertama, seberapa dekat orang-orang didalamnya setelah kepengurusan/acara tersebut dan yang kedua, seberapa besar/lama euphoria setelah kepengurusan/acara tersebut.

One thing for sure, there is no such thing as 'perfect' - let alone a 'perfect team'. Pastinya banyak tantangan-tantangan yang dihadapi dan setiap kepemimpinan punya style yang berbeda-beda. That is to say, each team is unique and non-comparable. Jadi walaupun disini aku membahas cara mengukur kesuksesan tim, hasil akhirnya itu bukan seberapa sukses, tapi hanya dua jawaban: sukses atau biasa aja. Menurutku, semua tim itu pasti berhasil melaksanakan kewajiban dan amanahnya, jadi at least mereka mencapai pada level standard, yaitu 'biasa aja'.

I'd like to believe that the success of a team relies on their teamwork. Kerja tim membutuhkan banyak komunikasi, pengertian, dan kesabaran. Komunikasi mungkin bisa hampir tiap hari/minggu, melaporkan, mendelegasikan, koordinasi, memastikan, dsb. Dengan intensitas yang sesering ini, pertemanan akan terjalin dengan sendirinya. Tiap orang di tim punya beban kerja nya masing-masing, not to mention, kesibukan lainnya, yang kadang tidak bisa dibayangkan. Disini tiap orang diharuskan untuk saling mengerti dan percaya bahwa mereka akan mengerjakan bagian kerjanya. Walaupun awalnya dipaksa untuk percaya, tapi perlahan kepercayaan itu nyata dan tumbuh dengan sendirinya dan semakin lama semakin kuat. Tiap orang di tim juga perlu bersabar dengan mengesampingkan ego pribadi dan memperjuangkan kepentingan bersama. Mereka belajar untuk menekan emosi dan berfikir hal-hal yang lebih penting. 

Dengan komunikasi yang intensif, kepercayaan yang perlahan tumbuh dan terbiasanya mengendalikan emosi, akan sulit untuk menghindari ikatan pertemanan yang dekat. Tapi kalau beberapa orang didalamnya ngga bisa berkomunikasi secara efektif, saling mengerti atau mengendalikan emosi, mereka ngga akan bisa kerja secara nyaman. Mungkin iya, mereka berhasil melaksanakan kewajibannya, seperti yang aku bilang diawal, tapi tidak akan adanya pertemanan dekat. 

Jadi, kalau setelah kepengurusan/acara mereka tetap atau semakin dekat, berarti bisa dipastikan mereka bisa dengan sukses kerja dalam tim, yang berarti organisasi/kepanitiaan tersebut sukses. Tapi apabila setelah kepengurusan/acara mereka malah ngga saling sapa atau jadi dingin, berarti mereka ngga bisa kerja bersama dalam tim, yang berarti organisasi/kepanitiaan tersebut mencapai standard 'biasa aja'.

Selain itu, bisa dilihat juga dari euphoria setelah kepengurusan/acara. Seberapa lama/besar euphoria yang mereka rasakan. Semakin lama/besar euphoria tersebut, semakin besar rasa saling memiliki dan pastinya semakin besar rasa kepercayaan yang ada diantara mereka. Seperti yang aku sebutkan diatas, kepercayaan menjadi salah satu dasar dari suksesnya kerja tim. Jadi kalau ada organisasi/kepanitiaan yang merasakan kebahagiaan euphoria yang cukup lama - ini relatif, tapi menurutku lebih dari 2 hari termasuk yang lama - berarti kerja timnya dan organisasi/kepanitiaan tersebut sukses. Kalau euphoria-nya lebih sebentar dari itu, berarti kerja timnya dan organisasi/kepanitiaan tersebut biasa aja.

Sekian.

Just my two cents.

Monday, December 19, 2016

Home

Most people would say "home is where the heart is".
But for Third Culture Kid (TCK), "home is everywhere and nowhere" - Ruth Van Reken, 2004

Some of you may have heard about TCK, but if you haven't I'll explain it briefly and you can read more about it from wikipedia (click here) or other sources.

Based on Wikipedia, 
"Third culture kid (TCK) is a term used to refer to children who were raised in a culture outside of their parents’ culture for a significant part of their development years. The experience of being a TCK is unique in that these individuals are moving between cultures before they have had the opportunity to fully develop their personal and cultural identity."

And yes, I'm one of TCK. I may not be as extreme as others who spent their childhood in more than three countries and their parents have different nationalities, but I experience the same feeling as most TCK do. And home is one of TCK's challenges.

"Home is everywhere and nowhere"


That is so TRUE!

Each places that I've lived in has special places in my life and heart. I feel that I belong to those places - all at once - because there were some bonds that we shared. Those places were my witness of all my best and worst times. No place can be replaced by the other.

At the same time, I feel rootless. Though I may have my nationality, but somehow I don't fit in perfectly there - nor anywhere that I've lived in. In fact, I could never perfectly fit in anywhere, as I didn't stay long enough to adopt all their attitudes, behaviors and languages.

So it's kinda in between.
I feel home wherever I go to Indonesia, Australia, Hong Kong and Taiwan.
I can't never decide which one is my first, second, third and fourth home.
These four will always be my home.

-Source: Google (the first two), my own (the last two) 

Friday, July 29, 2016

Dear Men..

Dear Men,
If you're not gonna stay, please don't make us happy..
If you're not gonna catch us, please don't make us fall..

Dear Men,
Please understand that women are sensitive..
Every little things you say, we'll remember..
and every little things you do, we'll expect it to happen again..

Dear Men,
Please don't leave us out of the blue..
Cut the drama and be transparent..
Tell us if you're interested or staying, so we know what to expect..

Dear Men,
Please spare us the heartache..
If you're not interested nor staying, just say it and leave..
It's so much better for us to know the bitter truth than to expect based on pretenses..

Dear Men,
Our heart has been broken and healed so many times..
So please don't underestimate us by saying that we cannot handle the truth..


Sincerely,
Women

Tuesday, July 19, 2016

Upside Down House Exhibition

 
I know it's only turning the furniture upside down and glued in to the wall. Some may think it's not worth the wait (queue) and money. But for some, it is an opportunity to get a fun picture. For me, it's another way to refresh my mind and take a break from research :))

The house was filled up by so many people, so for some spot, we couldn't get a clear and great photos. But the good thing about this exhibition are: they controlled the amount of people inside the house (1), they prepared a place for people to queue, so we can take photos without other people in it (2), there is no time limit, so people can take as many picture and as long as they like (3), once we moved to another room, we cannot go back to the previous ones, so we will not bump into each other (4).