Friday, June 2, 2017

Minioritas - Mayoritas

Aku sering baca perbandingan antara pemeluk agama minioritas di Indonesia dengan pemeluk agama minioritas di negara lain. Katanya pemeluk agama minioritas (Kristen, Katolik, Budha, Hindu) itu terlalu diistimewakan/dimanjakan di Indonesia yang mayoritas agamanya Islam. Padahal pemeluk agama Islam di negara yang mayoritas agama Kristen itu ngga seperti itu dan cenderung 'struggling'. Wait, perbandingan ini tuh ngga 'apple-to-apple'. 

Kita lihat dulu dasar negaranya. Negara Indonesia adalah negara yang beragama dan mengakui 5 agama besar. Sedangkan, misalnya Taiwan itu landasan negaranya tidak bawa-bawa agama dan mayoritas penduduknya juga tidak memiliki agama. Jadi kalau membandingkan agama minioritas yang diakui di Indonesia dengan agama minioritas yang tidak diakui di Taiwan, yaa itu ngga setara.

Pemeluk ke-lima agama di Indonesia mempunyai hak yang sama. Mereka berhak untuk beribadah di tempat ibadah dengan tenang. Maka dari itu negara pun meliburkan hari-hari besar agama tersebut. Ini semua wajar. Ngga ada yang mengistimewakan dan memanjakan.

Sedangkan di Taiwan, by default negara tidak perlu membangun rumah ibadah dan meliburkan hari raya agama. Dan memang, tidak ada hari libur agama satu pun di Taiwan. Tapi, di Taiwan ini ada beberapa rumah ibadah, termasuk Mesjid. Ini baru bisa dibilang mengistimewakan dan memanjakan orang yang beragama/minioritas. Dan misalnya di beberapa waktu umat Muslim struggling mencari tempat untuk solat atau mencari makanan halal di Taiwan, hal ini wajar.. kan lagi di negara yang tidak beragama, yaa pasti sulit. 

Kesimpulannya:

1. Jangan membandingkan negara yang mengakui agama minioritas dengan negara yang ngga mengakui agama minioritas. Kalau mau membandingkan, bandingkan kedua negara yang sama-sama mengakui agama minioritas, atau dua negara yang sama-sama ngga mengakui agama minioritas. Seperti US dan Taiwan, yang sama-sama ngga mengakui agama Islam. Bandingkan bagaimana perlakuan dan fasilitas untuk umat Muslim.

2. Kalau suatu negara tidak mengakui agama minioritas, adalah sikap yang wajar ketika ada perbedaan perlakuan dengan pemeluk agama mayoritas. Tapi, ketika negara tersebut mengakui agama minioritas juga, sudah seharusnya tidak ada perbedaan perlakuan.

Thursday, March 30, 2017

Kesuksesan Tim

Dari sekian banyak organisasi dan kepanitiaan yang kamu ikuti, dari mana kamu tau atau merasa bahwa organisasi/kepanitiaan tersebut sukses? Bukan acaranya loh, tapi timnya. Yang dibahas disini organisasi/kepanitiaan non-profit. Jadi jelas, kita ngga bisa bicara tentang berhasilnya tim tersebut mendapatkan keuntungan sekian atau project bernilai sekian rupiah/dollar. Jadi kita harus punya cara evaluasi yang lain, dan setiap orang pasti punya versinya masing-masing. Menurutku ada 2 cara. Yang pertama, seberapa dekat orang-orang didalamnya setelah kepengurusan/acara tersebut dan yang kedua, seberapa besar/lama euphoria setelah kepengurusan/acara tersebut.

One thing for sure, there is no such thing as 'perfect' - let alone a 'perfect team'. Pastinya banyak tantangan-tantangan yang dihadapi dan setiap kepemimpinan punya style yang berbeda-beda. That is to say, each team is unique and non-comparable. Jadi walaupun disini aku membahas cara mengukur kesuksesan tim, hasil akhirnya itu bukan seberapa sukses, tapi hanya dua jawaban: sukses atau biasa aja. Menurutku, semua tim itu pasti berhasil melaksanakan kewajiban dan amanahnya, jadi at least mereka mencapai pada level standard, yaitu 'biasa aja'.

I'd like to believe that the success of a team relies on their teamwork. Kerja tim membutuhkan banyak komunikasi, pengertian, dan kesabaran. Komunikasi mungkin bisa hampir tiap hari/minggu, melaporkan, mendelegasikan, koordinasi, memastikan, dsb. Dengan intensitas yang sesering ini, pertemanan akan terjalin dengan sendirinya. Tiap orang di tim punya beban kerja nya masing-masing, not to mention, kesibukan lainnya, yang kadang tidak bisa dibayangkan. Disini tiap orang diharuskan untuk saling mengerti dan percaya bahwa mereka akan mengerjakan bagian kerjanya. Walaupun awalnya dipaksa untuk percaya, tapi perlahan kepercayaan itu nyata dan tumbuh dengan sendirinya dan semakin lama semakin kuat. Tiap orang di tim juga perlu bersabar dengan mengesampingkan ego pribadi dan memperjuangkan kepentingan bersama. Mereka belajar untuk menekan emosi dan berfikir hal-hal yang lebih penting. 

Dengan komunikasi yang intensif, kepercayaan yang perlahan tumbuh dan terbiasanya mengendalikan emosi, akan sulit untuk menghindari ikatan pertemanan yang dekat. Tapi kalau beberapa orang didalamnya ngga bisa berkomunikasi secara efektif, saling mengerti atau mengendalikan emosi, mereka ngga akan bisa kerja secara nyaman. Mungkin iya, mereka berhasil melaksanakan kewajibannya, seperti yang aku bilang diawal, tapi tidak akan adanya pertemanan dekat. 

Jadi, kalau setelah kepengurusan/acara mereka tetap atau semakin dekat, berarti bisa dipastikan mereka bisa dengan sukses kerja dalam tim, yang berarti organisasi/kepanitiaan tersebut sukses. Tapi apabila setelah kepengurusan/acara mereka malah ngga saling sapa atau jadi dingin, berarti mereka ngga bisa kerja bersama dalam tim, yang berarti organisasi/kepanitiaan tersebut mencapai standard 'biasa aja'.

Selain itu, bisa dilihat juga dari euphoria setelah kepengurusan/acara. Seberapa lama/besar euphoria yang mereka rasakan. Semakin lama/besar euphoria tersebut, semakin besar rasa saling memiliki dan pastinya semakin besar rasa kepercayaan yang ada diantara mereka. Seperti yang aku sebutkan diatas, kepercayaan menjadi salah satu dasar dari suksesnya kerja tim. Jadi kalau ada organisasi/kepanitiaan yang merasakan kebahagiaan euphoria yang cukup lama - ini relatif, tapi menurutku lebih dari 2 hari termasuk yang lama - berarti kerja timnya dan organisasi/kepanitiaan tersebut sukses. Kalau euphoria-nya lebih sebentar dari itu, berarti kerja timnya dan organisasi/kepanitiaan tersebut biasa aja.

Sekian.

Just my two cents.